"It's the best of times; it's the worst of times. That's how an estimated 60 to 80 percent of new moms feel a few days or weeks after childbirth. So called "baby blues" appear (appropriately) out of the blue, bringing on unexpected sadness and irritability, bouts of crying, restlessness, and anxiety. Unexpectedly because -well, for one thing, isn't having a baby supposed to make you happy, not miserable?"
-www.whattoexpect.com
Di post ini saya mau sharing
tentang salah satu hal yang saya alami setelah kelahiran Kaibirru. Besides all the prides and joys of becoming
a mother, baby blues hit me hard, dan narasi di atas menjelaskan apa yang
saya rasakan di dua minggu pertama menjadi ibu.
It wasn’t like I didn’t see it coming.
Saat hamil, saya banyak membaca artikel
tentang kemungkinan terjadinya baby blues ini pada ibu yang baru melahirkan.
Sehingga bisa dibilang saya menyiapkan diri saya kalau-kalau benar kena baby blues. Namun se siap-siapnya saya,
ternyata tetap saja baby blues membuat saya berada di fase gelap hidup saya.
Semua berawal dari rasa sakit
pasca melahirkan. Saat proses lahiran, saya mengejan dengan cara yang salah,
jadi robekan pun sampai anus sehingga saat proses jahit, saya dibius total—saking
kesakitannya. Karena jahitan tersebut yang sangat banyak, saya nggak bisa
duduk. Asli. Bahkan sebenernya tiduran di atas tempat tidurpun sakit sekali
karena simpul jahitan pas berada di bawah sana. Darah yang keluar juga masih
banyak. Pernah saya coba untuk ke kamar mandi untuk mandi saking gerahnya
setelah lahiran, yang ada darah semakin banyak keluar dan saya hampir pingsan.
Untung waktu itu ada suami di sebelah saya jadi ada yang megangin. Sengsara
banget rasanya.
Belum reda rasa sakitnya, proses
menyusui dengan Kaibirru juga belum lancar. Kaibirru bisa menyusui 2 jam
lamanya dan 15 menit kemudian dia akan menangis karena masih haus. Kebayang
nggak stress nya gimana. Baru juga mau tiduran, saya udah harus menyusui lagi.
Saya harus paksain diri sendiri untuk duduk, sementara sakit yang saya rasakan
luar biasa sekali biar Kaibirru bisa dapet ASI. Satu-satunya cara agar saya bisa menyusui
nyaman adalah dengan posisi berbaring. Namun Kaibirru masih belum bisa—wajar namanya juga baru lahir. Jadi
setiap suster nyodorin Kai ke saya untuk disusui, yang ada saya stress. Saya
jadi sering menghindar untuk menyusui. Kalo inget ini bener-bener sedih dan
nyesel banget rasanya.
Selain itu, kebijakan rooming-in dengan Kai yang seharusnya
membuat bonding antara saya dan Kai lebih kuat justru semakin membuat saya
lelah. Malam hari di rumah sakit, saya hanya bertiga dengan suami dan Kai. Kai
akan menangis, dan saya gak bisa ngapa-ngapain. Berdiri nggak bisa, ngambil Kai
dari dalem box ga bisa, menyusui juga ga bisa. Saya ngerasa useless banget waktu itu. Apalagi kalo
Kai nangisnya udah kejer. Saya langsung ikutan nangis.
Keadaan di atas berlangsung
sekitar 3 hari. Hari ke-4 di rumah sakit, seharusnya kami sudah boleh pulang.
Namun ternyata Kai kuning. Bilirubinnya cukup tinggi. Jadi harus stay di rumah
sakit. Saya masih tenang saat diinfokan seperti itu, karena saya tahu biasanya
kalo bayi kuning nggak akan terlalu lama di rumah sakit. Dokter anak Kai hanya
berpesan bahwa Kai perlu disinar dan rajin disusui agar bilirubinnya cepat
turun.
Kai selama di Perina |
Saya dan suami akhirnya sepakat
untuk extend di rumah sakit agar bisa memantau Kai dengan mudah dan supaya
kalua Kai haus saya bisa segera menyusuinya secara langsung. Hari itu juga saya
mulai disuruh pompa, dan ternyata cuma bisa basahin pantat botol :(.
Dua hari saya di rumah sakit,
yang ada saya makin frustasi. Setiap 15 menit Kai haus. Walaupun sudah saya
susui 2 jam lebih, Kai tetap masih haus. Boro-boro pompa, waktu saya
benar-benar habis untuk menyusuinya secara langsung. Jadi nggak ada stock.
Istirahat nggak tenang, makan nggak napsu. Saya makin sedih karena ngerasa
nggak bisa bikin anak saya sendiri kenyang.
Kemudian mulailah suster rumah
sakit memberi informasi bahwa Kai nangisnya sudah sangat kejer dan serak.
Sangat ditakutkan akan dehidrasi. Dan keadaan dehidrasi pada bayi bisa
menyebabkan keadaan yang lebih buruk lagi pada bayi tesebut. Saya dan suami
akhirnya berdiskusi, dan kami sepakat memberikan susu formula pada Kaibirru.
Yes, I gave my son sufor.
Kami merasa saat itu adalah
keputusan yang tepat. Walaupun setelahnya saya tetap bertanya-tanya kenapa Kai
masih tetap kehausan padahal saya terus-terusan menyusui dia.
Setelah 24 jam diberi asupan asi
dan sufor, alhamdulillah bilirubin Kaibirru turun dan kami bertiga diijinkan
pulang.
Sampai di rumah, keadaan pun nggak
juga membaik. Kai masih menyusu 2 jam lebih setiap satu sesi, saya masih
kesakitan. Untuk bangun dari tempat tidurpun setengah mati rasanya.
Hal-hal di atas lah yang kemungkinan besar membuat saya mengalami baby blues. Menangis setiap hari, bengong-bengong sendiri, kesal dengan diri sendiri, orang sekitar, bahkan bayi kita sendiri. Males ngapa-ngapain dan gampang banget marah. Sensitif banget kayak test pack. Saya bingung banget, harusnya kan saya bahagia baru punya anak. Tapi kok malah sedih, kesel, dan pengen marah aja bawaannya.
It was to the extent that I covered my ears when Kai cried.
Beneran. Saking stressnya, saya bahkan gak mau dengerin tangisan dia. Atau
bahkan pas dia nangis di sebelah saya, saya diemin.
Tapi Alhamdulillah. Setelah 2
minggu, everything seems to get better.
Mungkin juga dikarenakan rasa sakit di badan saya yang lama-lama hilang, jadi
saya nya juga merasa lebih kuat untuk ngapa-ngapain.
Anyway, ada beberapa hal yang benar-benar membantu saya untuk
mengatasi sindrom baby blues ini:
- Dukungan Suami. Ini hal yang paling utama banget yang membuat saya bisa survive. Suami saya sangat sabar, pengertian, dan helpful. Selama saya masih stress berat, suami saya yang akan bangun tiap malem, buat gantiin popok Kai, memberikan Kai susu, menimang-nimang Kai sampai tertidur. Pokoknya, he did almost all the things that a mother should have done, except to breastfeed directly (yaiyalah haha). Truthfully speaking, Kai mungkin lebih bonding duluan sama ayahnya dibanding sama saya :). Dan yang paling penting, dia ga pernah komen yang bernada nyalah-nyalahin saya selama periode ini.
- Dukungan keluarga dan orang rumah. Ini juga gak kalah penting. Seminggu setelah lahiran, suami saya mulai masuk kantor lagi. Otomatis saya menghabiskan banyak waktu di rumah ya dengan keluarga saya dan orang rumah. Alhamdulillah mereka semua mau bantuin. Ibu saya dan ART mau gantian megangin Kai, ngajakin main Kai, sementara ibunya heartless banget seharian tiduran aja.
- Ask for help. Gak papa kok minta tolong sama orang pas kita emang lagi gak mampu ngapa-ngapain. Nggak usah gengsi :).
- Looking for people who share the same experience. Saat saya melahirkan, kebanyakan teman saya belum punya anak, ataupun menikah. Jadi agak bingung waktu itu mau cerita sama siapa. Akhirnya saya mulai cari-cari aja orang yang bercerita tentang pengalaman baby blues nya. It helped me a lot! Saya jadi ngerasa saya nggak sendirian. After all, it is not uncommon for a new mom to experience baby blues after giving birth.
- Menyadari bahwa anak kita pasti lebih bingung daripada kita. Kita mungkin ngerasa kesakitan, sedih, capek, semua rasa jadi satu. Tapi dia, yang masih bayi pasti bingungnya jauh lebih daripada kita. Bayangin, mereka baru lahir ke dunia yang banyak orang, banyak hal-hal baru. Harus attach sama dunianya yang benar-benar berbeda sama saat dia di kandungan. Awalnya mereka aman banget kan tuh di dalem perut kita. Main sama plasenta aja dan air ketuban. Makan dan minuman pun dulu otomatis aja masuk ke badan dia.
- Stop comparing yourself to others. Kamu ya kamu, anak kamu ya anak kamu. Karena emang semuanya beda, jadi ngapain capek-capek bandingin. Yang ada makin stress. Apalagi kalo kebanyakan mantengin Instagram ibu-ibu nan perfect yang kayaknya anaknya anteng gak pernah nangis. Semua ibu dan bayinya pasti memiliki pengalaman melahirkan yang berbeda-beda dan personal.
- Cari hiburan. Nah, susahnya abis ngelahirin emang badan rasanya masih sakit-sakit, jadi kalo mau cari hiburan keluar rumah masih susah ya. Apalagi masih ada bayi piyik yang harus disusuin tiap 2 jam sekali. Waktu itu akhirnya saya milih untuk cari hiburan di rumah aja, yaitu dengan pijet haha. Lumayan, abis itu jauh lebih seger dan happy.
- Pray. Kalo yang ini nggak usah dijelasin lah ya kenapa. When you have nowhere to go alias lahir dan batin udah buntu, pasti jalan satu-satunya ya berdoa. Cuma kalo emang lagi stress orang suka melupakan hal yang satu ini. Waktu itu karena masih masa nifas, akhirnya ibu saya yang nyetelin dzikir tiap adzan. Itu juga awalnya saya cuma bengong-bengong ga jelas, saking bingung dan sedihnya.
Begitulah pengalaman saya mengalami baby blues. It wasn’t a pleasant experience, tapi bener-bener
ngajarin banyak hal. Saya belajar menjadi ibu, Kai juga belajar menjadi anak.
Dan emang semua nggak ada text book yang tepat ataupun SOP nya. Untung saya
ngerasain fase ini 2 minggu pertama aja. Karena lebih dari 2 minggu atau 1 bulan bisa-bisa
itu tanda-tanda post-partum depression yang butuh tindakan lebih lanjut.
For mommies out there, who share the same struggle,
semangat! :)
Cheers,
Diandra
Comments
Post a Comment